Senin, 18 Februari 2013

Mendefinisikan Kembali Pendidikan Karakter


Penulis sadar betul, bahwa tulisan ini sangat tidak cukup relevan untuk dijadikan salah satu literatur dalam mendefinisikan pendidikan karakter. Namun “sejauh mata” melihat buku, tulisan ini akhirnya muncul sebagai pengakuan bahwa pendidikan tiada pernah usang untuk diperdebatkan, salah satunya adalah munculnya konsepsi baru tentang pendidikan karakter.

Kamis, 31 Januari 2013

Terenggutnya Ke-sexy-an PMII

Sembah sujud kami persembahkan kepada 13 orang penggagas dan pendiri PMII, mereka adalah Sahabat Cholid Mawardi, Said Budairy, M. Sobich Ubaid, M. Makmun Syukri BA, Hilman, H. Isma’il Makky, Munsif Nahrawi, Nuril Huda Suaidy HA, Laily Mansur, Abd. Wahab Jailani, Hisbullah Huda, M. Cholid Narbuko, dan Ahmad Husain. Yang dengan semangat perjuangan dan keikhlasan untuk memperjuangkan kaum muztad’afin agar mendapatkan kehidupan yang layak ditengah arus kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dalam payung PMII.
Setelah keberadaan mereka, kita tidak akan pernah melupakan sosok almarhum Mahbub Djunaidi yang tegas, berani, berwawasan global, dan mempunyai komitmen serta loyalitas tinggi terhadap organisasi. Sosok itulah yang melekat pada diri kader-kader PMII pada era 60-an sampai 90-an, dimana kader-kader PMII sangat garang dengan taring yang tajam untuk tetap mengumandangkan kemerdekaan bagi mereka yang tertindas, baik ditindas secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Dengan Jas Biru yang berlambangkan perisai sakti PMII, sosok Mahbub Djunaidi berani meneteskan air mata, darah, dan bahkan nyawa pun jadi taruhannya agar jembatan emas (kemerdekaan) bangsa dan Negara ini benar-benar dirasakan oleh mereka.
Tidak hanya almarhum yang menjadi kiblat pemikiran, gerakan, dan tindakan kader-kader PMII dalam mengentaskan penindasan-penindasan yang kerap kali dilakukan rezim orde lama kepada masyarakat, akan tetapi PMII juga memiliki almarhum Muhammad Zamroni, Inilah tokoh PMII, tokoh mahasiswa, dan tokoh pemuda yang berhasil menggerakkan mahasiswa dan pemuda diseluruh Indonesia berdemonstrasi turun ke jalan menuntut dan berhasil merontokkan rezim orde lama. Dialah figur tokoh angkatan 66. Dialah tokoh demonstran yang berhasil menumbangkan suatu rezim. Dialah tokoh paling populer dan terkenal pada masanya, setelah Soekarno. Tokoh idola yang mampu menjadi “inspirator gerakan” mahasiswa dan pemuda diseluruh Nusantara. Dialah tokoh yang berani berdemonstrasi dan berdebat berhadap-hadapan secara langsung dengan Presiden Soekarno.
Tidak cukup kiranya hanya bernostalgia pemikiran dan gerakan melalui tulisan, karena mereka menginginkan kader PMII yang mampu mengimplementasikan pemikiran dalam sebuah gerakan yang nyata.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya globalisasi, maka seiring itupula tergerusnya pemikiran kritis transformatif dan gerakan kader PMII yang cenderung tidak mengarah pada substansial ide pokok yang dibawa. Hiroh intelektual dan hausnya gerakan sosial-keagamaan sudah lama tidak terjamah oleh kader-kader PMII. Padahal kalau dilogikakan, dengan kuantitas kader yang dimikili PMII sekarang seharusnya hiroh intelektual dan hausnya gerakan sosial-keagamaan harus menjadi prioritas dalam setiap gerak dan aktifitas PMII karena hal tersebut sesuai dengan tujuan PMII.
Entah virus apa yang menghinggapi kader-kader PMII, apakah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini PMII sudah tidak sexy lagi?
Pada era kelahiran sampai 90-an, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan PMII bermuara pada pembentukan kader yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan sensitifitas gerakan sosial-keagamaan yang tinggi, karena dengan itulah nama PMII tetap dikenang dan bahkan akan “ditakuti” oleh meraka yang memandang karena tajamnya taring yang dimiliki PMII. Namun terlihat sangat berbeda dengan hari ini, mayoritas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan PMII akhir-akhir ini hanya bersifat formalitas dan menggugurkan kewajiban program kerja yang sangat jauh dari substansi yang diharapkan.
Ritual keintelektualan sebagai penambah khazanah pengetahuan kader sudah sangat sulit ditemukan pada setiap level kepengurusan organisasi, pembacaan atas kebijakan kampus maupun pemerintah Kota dan Kabupaten pun juga sudah tidak menarik lagi untuk dikonsumsi oleh kader PMII, pendampingan dan penyuluhan kepada masyarakat yang membutuhkan pun juga sudah lama ditinggalkan oleh kader-kader PMII. Melihat dan merasakan hal yang semacam itu, seakan-akan gerak dan kerja-kerja organisasi PMII mulai disorientasi dari akar nilai yang pernah dieluh-eluhkan oleh founding fathers. Yang mana kader-kader PMII mampu menjadi pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan keilmuannya serta berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Imbas dan konsekuensi logis dari hal itu adalah PMII sudah tidak begitu menarik lagi untuk dilirik para calon anggota, PMII juga sudah hampir tak mampu menelurkan figur-figur yang benar-benar matang secara intelektual dan gerakan sehingga mampu mewarnai kelas, kampus, atau bahkan jalanan Kota. Dari itulah, tidak sedikit kader PMII yang sudah tidak lagi bangga menyebut dirinya kader PMII, meraka tidak lagi bangga mengenakan jas biru dengan lambang perisai sakti, meraka akan minder ketika bertemu dengan kader dari organisasi lain. Yang pada penghujungnya dapat menyebabkan kebosanan, kejenuhan, kejumudan dan bahkan mungkin muak dengan PMII. Lebih parahnya lagi meraka akan mengira bahwa PMII tidak lebih dari sosok paguyuban dan bukan sebagai organisasi kaderisasi yang formal. Na’udzubillahi min Dzalik.
Maka anti-thesis untuk mengantisipasi hal diatas terjadi adalah menggembalikan PMII kepada poros yang sudah termaktub dalam AD-ART, Nilai Dasar Pergerakan, Paradigma Kritis Transformatif, dan nilai-nilai Aswaja, serta kesadaran kolektif dari setiap kader PMII untuk segera bangun dari tidur yang lama dan menghentakkan kaki untuk melakukan letupan-letupan progresif-konstruktif. Karena mungkin hanya dengan itulah PMII yang sampai hari ini dibanggakan akan kembali “sexy”.

Rabu, 16 Januari 2013

Mendialogkan kembali Paradigma Gerakan Mahasiswa


Nostalgia Gerakan Mahasiswa
Sejenak merenung dan berfikir akan sepak terjang mahasiswa yang sampai hari ini segala atribut nilai melekat pada dirinya, agen of change, agen of social control, dll. Bahkan sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia pernah menyematkan penghargaan dan sekaligus sebuah harapan kepada mahasiswa, yakni “…Beri aku Sepuluh Mahasiswa, maka akan aku guncang Dunia”. Sebuah penghargaan yang sampai hari ini masih terniang-niang dalam benak para mahasiswa sehingga menjadikan sebuah spirit untuk meletupkan sebuah perubahan bagi agama, bangsa dan Negara.