Belum
terbukukannya sebuah buku pedoman kaderisasi yang didalamnya memuat formulasi ideal
sistem kaderisasi PMII yang baku barangkali dapat dijadikan sebuah renungan dan
bahan evaluasi bersama akan pentingnya percepatan perubahan dan penyesuaian
terhadap tantangan kondisi dinamika masyarakat kekinian baik ditingkatan lokal,
regional maupun nasional yang menuntut PMII untuk selalu mencari, memikirkan,
dan membuat bangunan formulasi baru yang tepat terhadap kaderisasi dalam
konteks adaptasi perubahan. Kondisi ini menuntut PMII untuk selalu membangun
solidaritas internal sebagai upaya untuk mewujudkan bangunan kaderisasi yang
kokoh, sebagai bagian dari jawaban PMII terhadap tantangan perubahan tersebut .
Forum pertemuan
kaderisasi nasional yang diadakan PB PMII pada awal tahun 2012 lalu, memberikan
sebuah gambaran terhadap kondisi warga pergerakan dalam potret kaderisasi serta
kontribusi output yang dihasilkan dewasa
ini. Sahabat Dwi Winarno (Ketua Kaderisasi Nasional) pada saat itu menyampaikan
bahwa PMII belum mampu menjawab tantangan yang hadir ditengah-tengah
masyarakat. Ditengah-tengah berkembang pesatnya pembangunan dan tuntutan
perubahan dewasa ini, kader-kader PMII belum mampu mengisi ruang-ruang kosong
dalam merebut perubahan terebut.
Tantangan ini
yang harus mampu ditangkap oleh setiap kader, agar pada saatnya nanti PMII
tidak tertinggal oleh perubahan, dimana sebagaimana hal tersebut selalu hadir
sebagai sebuah jawaban atas keluhan kader dalam setiap periode kepengurusan
ditingkatan rayon, komisariat, maupun cabang nantinya. Sebab jika kita potret
lebih dalam lagi masih banyak ruang-ruang yang seharusnya mampu diisi oleh
kader-kader PMII melalui proses kaderisasi yang terkonsep dan berjenjang.
Produk serta
formulasi kaderisasi PMII yang telah terskema dengan sistematis dan konseptual,
serta seperamgkat nilai, moral dan aturan yang melekat pada PMII masih belum
mampu diterjemahkan dan dipahami secara tuntas oleh kader-kader yang memiliki
tanggung jawab dalam setiap proses kaderisasi pada tingkatan level organisasi
di PMII. Sehingga dewasa ini yang sering terjadi pada tataran basis kader
adalah semangat militansi dan loyalitas kader terkesan semu dan tak terarah,
yang disebabkan oleh kurang maksimalnya transformasi dan internalisasi
nilai-nilai ke PMII an pada kader melalui formulasi kaderisasi yang ada.
Sebagai organisasi kader, sesungguhnya agenda dan
target kaderisasi PMII teramat luas. Kaderisasi pada dasarnya tidak hanya
berbicara pembinaan anggota laki-laki (putra) namun juga pembinaan anggota di segmen ke(putri)aan. Walau kaderisasi
PMII tidak memandang bulu dan jenis kelamin (gender) namun menjadi fenomena
mutakhir jikalau kuantitas dan kualitas kader putri PMII jauh dibawah
kader-kader putra. Kenyataan ini lantas mendorong segenap supra-struktur
(organisasi) PMII untuk memikirkan dan merumuskan pola dan sistem ideal
kaderisasi PMII putri yang tepat guna memperbaiki kualitas input dan output kaderisasi.
Ada beberapa kalangan yang menyitir bahwa fenomena
keterpurukan kaderisasi PMII lebih diakibatkan karena problem kultural sehingga
wajah kaderisasi harus didorong agar lebih adaptif, elegan dan terbuka. Namun
ada yang mencurigai bahwa persoalan ini menyeruak karena porsi kaderisasi yang
diberikan pada kader-kader putri sangat terbatas dan terikat. Pemikiran bentuk
kedua ini memandang bahwa ada kendala struktural yang berperan vital sebagai penyebab
kejumudan kaderisasi PMII putri.
Dalam menjawab kenyataan tersebut, ketetapan Forum
Kongres PMII dari waktu ke waktu selalu ada dan bermunculan dalam bentuk yang berubah-ubah.
Terkadang revitalisasi kaderisasi PMII putri harus diperkuat dengan cara
di-lembaga-kan baik dalam bentuk pe-lembaga-an, departemenisasi, bidang (semi
otonom) bahkan disetarakan statusnya dengan PB PMII. Walaupun hampir semua
pendekatan telah dilakukan toh keluhan
akan nasib kaderisasi PMII putri selalu menyeruak dari dan diberbagai wilayah.
Di beberapa Kota/ Kabupaten-pun (semoga Kota Malang
tidak termasuk) nasib kaderisasi PMII putri-nya boleh dikatakan “hidup
tidak mau matipun segan”. Kaderisasi PMII putri selalu diharapkan baik dan bisa
berjalan seperti kaderisasi PMII pada umumnya. Perjalanan kaderisasi PMII putri
terbilang naik-turun/kembang-kempis, terkadang hidup sekali dengan jumlah kader
bertaburan dimana-mana. Namun dilain waktu, praktis tidak ada agenda kaderisasi
yang dilakukan.
Realitas ini diperparah lagi ketika masing-masing
Pengurus Cabang di setiap Kota/ Kabupaten praktis jarang berkomunikasi dan
melakukan konsolidasi. Bahkan ego kewilayahan terkadang mengaburkan kepentingan
bersama untuk membangun kaderisasi PMII putri atas kesadaran kolektif. Semuanya
membanding-bandingkan seraya saling mengecilkan, yang kecil-imut makin terjepit
dan yang cukup mapan lalu sulit untuk berbagi.
Merespon kenyataan ini, dibutuhkan ruang diskusi
terbuka untuk mencari format ideal kaderisasi PMII putri. Hal ini dianggap
penting mengingat format kaderisasi PMII putri masih bersifat serampangan dan
sporadis sehingga dibutuhkan acuan dan kerangka dasar dalam melakukan
kaderisasi PMII putri kedepan. Ruang konsolidasi juga dirasa penting digelar
demi mengumpulkan masalah kaderisasi yang berserakan dimasing-masing cabang.
Kesamaan persepsi dan cara pandang dalam menatap kaderisasi PMII putri dan
kader putri dalam arti sesungguhnya sangat penting sehingga akan didapatkan
satu kesepahaman yang akan mengikat dan menjadi modal besar kaderisai PMII
putri.
Oleh karena itu, kesadaran kolektif harus segera
dimunculkan untuk segera merespon kejumudan dan keterpurukan kaderisasi PMII
Putri dengan sesegera mungkin merumuskan sistem kaderisasi PMII putri yang
nantinya mampu dijadikan ajuan baku dalam melakukan pendidikan formal
kaderisasi dalam PMII.
0 komentar:
Posting Komentar