Sabtu, 15 September 2012

Orang Aneh itu Gus Dur


“Keberlangsungan ide dan pemikiran yang ditinggalkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu gigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme, menjadi tanggung jawab para pengikutnya.”
 (KH Mustofa Bisri)

Penulis sengaja menyitir tulisan Gus Mus dalam esainya di harian Kompas (2/01/2009) dan menjadikannyaquote pada awal tulisan ini untuk sekadar mengingatkan kita semua bahwa demokrasi dan pluralisme sudah “diserahkan” sepenuhnya kepada para pengikutnya untuk terus diperjuangkan dan dirayakan, sejak kebersemayamannya di alam ide, hingga menyeruak pada kehidupan bermasyarakat.
Tak perlu mendebat siapa-siapa yang lolos dalam kategori bukan pengikut dan pengikut Gus Dur, Gusdurian. Saya kira, sebagai manusia yang berhaluan (empat pilar pmii) sudah barang tentu bersependapat dengan apa yang selama ini dirasakan oleh kaum minoritas Tionghoa, di era orde baru. Sekadar menguatkan common sense, jasa besar Gus Dur bagi masyarakat Tionghoa adalah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China saat menjadi presiden.
Membaca ide-ide Gus Dur bagai berjalan dengan kawalan atas kemajemukan ide dan identitas yang bercokol dari geneologi aliran, diversitas agama, kepercayaan, etnis, serta kedaerahan. Melaju diagonal, bahkan melampaui sekat-sekat sakral yang terlalu “tabu” untuk dibuka. Itulah sejurus karakter Gus Dur yang berdistansi dengan ketakutan. Tak heran, tidak ada yang memberontak ketika Gus Dur ditasbihkan sebagai Bapak Pluralisme, Multikulturalisme, serta pejuang kemanusiaan sesaat setelah beliau mangkat.
“Bakat” kecerdasan yang direlikui dari mendiang kakeknya, KH Hasyim As’ary, mewarnai jengkal pemikirannya. Berbarengan dengan itu pula masyarakat yang lain menganggapnya sebagai “yang keluar dari pakem”. Seperti tak kehabisan akal, Gus Dur selalu menimpali itu dengan pernyataan: “Ah. Biar sejarah saja yang membuktikan.”
Nyleneh. Itu yang diasumsikan masyarakat pada umumnya. Tapi, seperti sebuah pepatah matematika; Buatlah kesimpulan dengan premis-premis yang logis, Gus Dur, seperti sebuah kesimpulan itu sendiri, tidak akan bisa dipahami dengan premis yang tidak linear dengannya. Dhani Ahmad menyebut Gus Dur tak ubahnya kepala lokomotif supercanggih dengan masyarakat awam sebagai awak gerbong kelas ekonomi yang tak mampu mengikuti kelejitan sang lokomotif canggih.
Ihwal keberbagaian umat beragama, golongan minoritas, “beberapa” elit politik, penguasa birokrasi, hingga para cendekiawan, baik dari wilayah domestik, dalam dan luar negeri berjibaku merundukkan kepala saat Gus Dur menutupkan mata. Mereka mengheningkan cipta, genap dengan ritualnya masing-masing yang destingtif. Kita bisa mencermati, umat Islam, Kristen, Budha, dan Konghuchu bersama-sama berdoa dalam sebuah perayaan kesedihan di lokasi pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sungguh, Gus Dur benar-benar mengajarkan dan memberi misal kepada kita semua tentang definisi pluralisme tanpa bungkus keyakinan dan agama mana pun.
Kini, beliau telah wafat. Obituari tentang dirinya menyebar di media massa dan elektronik. Seakan kita diajak merenung dan berefleksi berjamaah. Jasadnya sudah ditelan bumi, tapi pemikirannya masih menyala-nyala. Kita, sebagai salah satu “golongan” yang diperjuangkannya, sudah sepatutnya menjaga dan meneruskan api pemikiran hingga mewujud pada kesadaran berperilaku.

0 komentar:

Posting Komentar