“Keberlangsungan ide
dan pemikiran yang ditinggalkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu gigih
memperjuangkan demokrasi dan pluralisme, menjadi tanggung jawab para
pengikutnya.”
(KH Mustofa
Bisri)
Penulis sengaja menyitir tulisan Gus Mus dalam esainya di harian Kompas (2/01/2009)
dan menjadikannyaquote pada awal tulisan ini untuk sekadar mengingatkan
kita semua bahwa demokrasi dan pluralisme sudah “diserahkan” sepenuhnya kepada
para pengikutnya untuk terus diperjuangkan dan dirayakan, sejak
kebersemayamannya di alam ide, hingga menyeruak pada kehidupan bermasyarakat.
Tak perlu mendebat siapa-siapa yang lolos dalam kategori bukan
pengikut dan pengikut Gus Dur, Gusdurian. Saya kira, sebagai manusia
yang berhaluan (empat pilar pmii) sudah barang tentu bersependapat dengan apa
yang selama ini dirasakan oleh kaum minoritas Tionghoa, di era orde baru.
Sekadar menguatkan common sense, jasa besar Gus Dur bagi masyarakat
Tionghoa adalah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China saat menjadi presiden.
Membaca ide-ide Gus Dur bagai berjalan dengan kawalan atas kemajemukan
ide dan identitas yang bercokol dari geneologi aliran, diversitas agama,
kepercayaan, etnis, serta kedaerahan. Melaju diagonal, bahkan melampaui
sekat-sekat sakral yang terlalu “tabu” untuk dibuka. Itulah sejurus karakter
Gus Dur yang berdistansi dengan ketakutan. Tak heran, tidak ada yang
memberontak ketika Gus Dur ditasbihkan sebagai Bapak Pluralisme, Multikulturalisme,
serta pejuang kemanusiaan sesaat setelah beliau mangkat.
“Bakat” kecerdasan yang direlikui dari mendiang kakeknya, KH
Hasyim As’ary, mewarnai jengkal pemikirannya. Berbarengan dengan itu pula
masyarakat yang lain menganggapnya sebagai “yang keluar dari pakem”. Seperti
tak kehabisan akal, Gus Dur selalu menimpali itu dengan pernyataan: “Ah.
Biar sejarah saja yang membuktikan.”
Nyleneh. Itu yang diasumsikan masyarakat pada umumnya. Tapi,
seperti sebuah pepatah matematika; Buatlah kesimpulan dengan premis-premis
yang logis, Gus Dur, seperti sebuah kesimpulan itu sendiri, tidak akan
bisa dipahami dengan premis yang tidak linear dengannya. Dhani Ahmad menyebut
Gus Dur tak ubahnya kepala lokomotif supercanggih dengan masyarakat awam
sebagai awak gerbong kelas ekonomi yang tak mampu mengikuti kelejitan sang
lokomotif canggih.
Ihwal keberbagaian umat beragama, golongan minoritas, “beberapa” elit
politik, penguasa birokrasi, hingga para cendekiawan, baik dari wilayah
domestik, dalam dan luar negeri berjibaku merundukkan kepala saat Gus Dur
menutupkan mata. Mereka mengheningkan cipta, genap dengan ritualnya
masing-masing yang destingtif. Kita bisa mencermati, umat Islam, Kristen,
Budha, dan Konghuchu bersama-sama berdoa dalam sebuah perayaan kesedihan di
lokasi pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sungguh, Gus Dur benar-benar
mengajarkan dan memberi misal kepada kita semua tentang definisi pluralisme
tanpa bungkus keyakinan dan agama mana pun.
Kini, beliau telah wafat. Obituari tentang dirinya menyebar di media
massa dan elektronik. Seakan kita diajak merenung dan berefleksi berjamaah.
Jasadnya sudah ditelan bumi, tapi pemikirannya masih menyala-nyala. Kita,
sebagai salah satu “golongan” yang diperjuangkannya, sudah sepatutnya menjaga
dan meneruskan api pemikiran hingga mewujud pada kesadaran berperilaku.
0 komentar:
Posting Komentar