Senin, 18 Februari 2013

Mendefinisikan Kembali Pendidikan Karakter


Penulis sadar betul, bahwa tulisan ini sangat tidak cukup relevan untuk dijadikan salah satu literatur dalam mendefinisikan pendidikan karakter. Namun “sejauh mata” melihat buku, tulisan ini akhirnya muncul sebagai pengakuan bahwa pendidikan tiada pernah usang untuk diperdebatkan, salah satunya adalah munculnya konsepsi baru tentang pendidikan karakter.
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-Muta’alim menyatakan bahwa adab menjadi seorang pendidik ada sepuluh nilai yang harus dimiliki yaitu antara lain (1) selalu melakukan evaluasi baik dalam kondisi ramai atau sepi, (2) selalu takut pada Allah pada setiap gerak-berik tingkah laku dan perkataannya, (3) selalu tenang, (4) selalu wara’, (5) rendah hati, (6) husyu’ kepada Allah, (7) selalu menumpahkan segalanya kepada Allah, (8) tidak menjadikan ilmunya untuk perantara mencari dunia, (9) mengedepankan kemaslahatan, (10) zuhud.
Hakikat pendidikan sebenarnya mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia baik berupa potensi fisik (body), jiwa (soul), maupun intelektual (mind) secara bertahap sehingga diharapkan teraktualkan potensi tersebut menjadi sebuah “perilaku tertentu” yang diharapkan oleh pendidik. “Perilaku tertentu” merupakan perilaku yang dihasilkan dari sebuah cita-cita, visi, nilai dari seseorang yang dilembagakan pada sebuah proses belajar mengajar. Itu artinya “perilaku tertentu” tersebut sebenarnya memang sengaja diharapkan menjadi sebuah “karakter tertentu” pula, sehingga memerlukan proses “rekayasa” untuk mencapai karakter yang diinginkan itu.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. (Nasional 2010). Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral,norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. E.B Taylor dalam bukunya Primitive Culture, mendefinisikan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat kebiasaan dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sekolah yang dilakukan secara bersama oleh guru dan pimpinan sekolah melalui semua mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan lain diluar mata pelajaran untuk mengembangkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik melalui internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang kita yakini bersama yang digunakan peserta didik sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menunjukkan kemuliaannya.
Maka dari itu, usaha tersebut tentunya harus direncanakan dengan menganut prinsip-prinsip perencanaan yaitu merumuskan tujuan pembelajaran serta standar kompetensi yang ingin dicapai dengan menganut rumus SMART (Specifik, Measurable, Achievable, Realistic, Time Frame). Disamping itu, penanaman karakter tentunya harus memiliki prinsip-prinsip yang sesuai dengan karakter mata pelajaran yang akan diajakarkan oleh seorang guru. Setidaknya ada lima pendekatan penanaman karakter dalam proses pembelajaran yaitu (1) Pendekatan penanaman nilai (Values Inculcation Approach), (2) Pendekatan Perkembangan Kognitif (Cognitive Development Approach), (3) Pendekatan analisis nilai (Values Analysis Approach), (4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (Action Learning Approach).

Rujukan
Ad-Duweisy, Muhammad Abdullah. Menjadi Guru yang sukses dan berpengaruh. Edited by M.N. Yasin. Translated by Izzudin Karimi. Surabaya, Jawa Timur: Pustaka Elba, 2007.
Asy'ari, Hasyim. Adab al-Alim wa al-Muta'alim. Edited by Ishom Hadzik. Jombang, Jawa Timur: Maktabah al-Turath al-Islami, 1999.
Covey, Stephen R. The 8th Habit. Translated by Wandi S Brata. Jakarta, Jakarta: Gramedia, 2005.
Eisner, Elliot W. "Ralph Winifred Tyler." In 50 Pemikir Pendidikan, edited by Joy A. Palmer, translated by Farid Assifa, 100. Yogyakarta, Jawa Tengah: Jendela, 2003.
Ghony, Djunaidi. Konstruksi Karakter Dalam Lembaga Pendidikan. September-Desember 2011, XI ed.: 27.
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Nasional, Kementerian Pendidikan. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
Shadily, Hassan. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta, Jakarta: Bina Aksara, 1984.
Tilman, Diane. Living Values Activities for Young Adults. Translated by Risa Praptono dan Ellen Sirait. Jakarta: Grasindo, 2004.

0 komentar:

Posting Komentar