Penulis sadar betul, bahwa tulisan ini sangat tidak cukup relevan untuk dijadikan salah satu literatur dalam mendefinisikan pendidikan karakter. Namun “sejauh mata” melihat
buku, tulisan ini akhirnya muncul sebagai pengakuan bahwa pendidikan tiada
pernah usang untuk diperdebatkan, salah satunya adalah munculnya konsepsi baru
tentang pendidikan karakter.
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab
al-Alim wa al-Muta’alim menyatakan bahwa adab menjadi seorang pendidik ada
sepuluh nilai yang harus dimiliki yaitu antara lain (1) selalu melakukan
evaluasi baik dalam kondisi ramai atau sepi, (2) selalu takut pada Allah pada
setiap gerak-berik tingkah laku dan perkataannya, (3) selalu tenang, (4) selalu
wara’, (5) rendah hati, (6) husyu’ kepada Allah, (7) selalu menumpahkan
segalanya kepada Allah, (8) tidak menjadikan ilmunya untuk perantara mencari
dunia, (9) mengedepankan kemaslahatan, (10) zuhud.
Hakikat pendidikan sebenarnya mengembangkan potensi yang
ada pada diri manusia baik berupa potensi fisik (body), jiwa (soul),
maupun intelektual (mind) secara bertahap sehingga diharapkan
teraktualkan potensi tersebut menjadi sebuah “perilaku tertentu” yang
diharapkan oleh pendidik. “Perilaku tertentu” merupakan perilaku yang
dihasilkan dari sebuah cita-cita, visi, nilai dari seseorang yang dilembagakan
pada sebuah proses belajar mengajar. Itu artinya “perilaku tertentu” tersebut
sebenarnya memang sengaja diharapkan menjadi sebuah “karakter tertentu” pula,
sehingga memerlukan proses “rekayasa” untuk mencapai karakter yang diinginkan
itu.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter
masyarakat dan karakter bangsa. (Nasional 2010). Menurut Simon Philips dalam
buku Refleksi Karakter Bangsa, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju
pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena
manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan
karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan
budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa
hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan
peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia
yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral,norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi
manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral,
norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan
sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan,
teknologi, seni, dan sebagainya. E.B Taylor dalam bukunya Primitive Culture,
mendefinisikan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan dari hasil manusia hidup
bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota
masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat
kebiasaan dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sekolah yang
dilakukan secara bersama oleh guru dan pimpinan sekolah melalui semua mata
pelajaran dan kegiatan-kegiatan lain diluar mata pelajaran untuk mengembangkan
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik melalui internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang kita yakini bersama yang digunakan
peserta didik sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak yang menunjukkan kemuliaannya.
Maka
dari itu, usaha tersebut tentunya harus
direncanakan dengan menganut prinsip-prinsip perencanaan yaitu merumuskan
tujuan pembelajaran serta standar kompetensi yang ingin dicapai dengan menganut
rumus SMART (Specifik, Measurable, Achievable, Realistic, Time Frame).
Disamping itu, penanaman karakter tentunya
harus memiliki prinsip-prinsip yang sesuai dengan karakter mata pelajaran yang
akan diajakarkan oleh seorang guru. Setidaknya ada lima pendekatan penanaman
karakter dalam proses pembelajaran yaitu (1) Pendekatan penanaman nilai (Values
Inculcation Approach), (2) Pendekatan Perkembangan Kognitif (Cognitive
Development Approach), (3) Pendekatan analisis
nilai (Values Analysis Approach), (4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values
Clarification Approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (Action
Learning Approach).
Rujukan
Ad-Duweisy,
Muhammad Abdullah. Menjadi Guru yang sukses dan berpengaruh. Edited by
M.N. Yasin. Translated by Izzudin Karimi. Surabaya, Jawa Timur: Pustaka Elba,
2007.
Asy'ari,
Hasyim. Adab al-Alim wa al-Muta'alim. Edited by Ishom Hadzik. Jombang,
Jawa Timur: Maktabah al-Turath al-Islami, 1999.
Covey,
Stephen R. The 8th Habit. Translated by Wandi S Brata. Jakarta, Jakarta:
Gramedia, 2005.
Eisner,
Elliot W. "Ralph Winifred Tyler." In 50 Pemikir Pendidikan,
edited by Joy A. Palmer, translated by Farid Assifa, 100. Yogyakarta, Jawa
Tengah: Jendela, 2003.
Ghony,
Djunaidi. Konstruksi Karakter Dalam Lembaga Pendidikan.
September-Desember 2011, XI ed.: 27.
Muslich,
Masnur. Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Nasional,
Kementerian Pendidikan. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
Shadily,
Hassan. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta, Jakarta: Bina
Aksara, 1984.
Tilman,
Diane. Living Values Activities for Young Adults. Translated by Risa
Praptono dan Ellen Sirait. Jakarta: Grasindo, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar