Selasa, 29 April 2014

Merindukan re-Formulasi Sistem Kaderisasi PMII Putri

Belum terbukukannya sebuah buku pedoman kaderisasi yang didalamnya memuat formulasi ideal sistem kaderisasi PMII yang baku barangkali dapat dijadikan sebuah renungan dan bahan evaluasi bersama akan pentingnya percepatan perubahan dan penyesuaian terhadap tantangan kondisi dinamika masyarakat kekinian baik ditingkatan lokal, regional maupun nasional yang menuntut PMII untuk selalu mencari, memikirkan, dan membuat bangunan formulasi baru yang tepat terhadap kaderisasi dalam konteks adaptasi perubahan. Kondisi ini menuntut PMII untuk selalu membangun solidaritas internal sebagai upaya untuk mewujudkan bangunan kaderisasi yang kokoh, sebagai bagian dari jawaban PMII terhadap tantangan perubahan tersebut .

Forum pertemuan kaderisasi nasional yang diadakan PB PMII pada awal tahun 2012 lalu, memberikan sebuah gambaran terhadap kondisi warga pergerakan dalam potret kaderisasi serta kontribusi output yang dihasilkan dewasa ini. Sahabat Dwi Winarno (Ketua Kaderisasi Nasional) pada saat itu menyampaikan bahwa PMII belum mampu menjawab tantangan yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Ditengah-tengah berkembang pesatnya pembangunan dan tuntutan perubahan dewasa ini, kader-kader PMII belum mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam merebut perubahan terebut.

Tantangan ini yang harus mampu ditangkap oleh setiap kader, agar pada saatnya nanti PMII tidak tertinggal oleh perubahan, dimana sebagaimana hal tersebut selalu hadir sebagai sebuah jawaban atas keluhan kader dalam setiap periode kepengurusan ditingkatan rayon, komisariat, maupun cabang nantinya. Sebab jika kita potret lebih dalam lagi masih banyak ruang-ruang yang seharusnya mampu diisi oleh kader-kader PMII melalui proses kaderisasi yang terkonsep dan berjenjang.

Produk serta formulasi kaderisasi PMII yang telah terskema dengan sistematis dan konseptual, serta seperamgkat nilai, moral dan aturan yang melekat pada PMII masih belum mampu diterjemahkan dan dipahami secara tuntas oleh kader-kader yang memiliki tanggung jawab dalam setiap proses kaderisasi pada tingkatan level organisasi di PMII. Sehingga dewasa ini yang sering terjadi pada tataran basis kader adalah semangat militansi dan loyalitas kader terkesan semu dan tak terarah, yang disebabkan oleh kurang maksimalnya transformasi dan internalisasi nilai-nilai ke PMII an pada kader melalui formulasi kaderisasi yang ada.

Sebagai organisasi kader, sesungguhnya agenda dan target kaderisasi PMII teramat luas. Kaderisasi pada dasarnya tidak hanya berbicara pembinaan anggota laki-laki (putra) namun juga pembinaan anggota di segmen ke(putri)aan. Walau kaderisasi PMII tidak memandang bulu dan jenis kelamin (gender) namun menjadi fenomena mutakhir jikalau kuantitas dan kualitas kader putri PMII jauh dibawah kader-kader putra. Kenyataan ini lantas mendorong segenap supra-struktur (organisasi) PMII untuk memikirkan dan merumuskan pola dan sistem ideal kaderisasi PMII putri yang tepat guna memperbaiki kualitas input dan output kaderisasi.

Ada beberapa kalangan yang menyitir bahwa fenomena keterpurukan kaderisasi PMII lebih diakibatkan karena problem kultural sehingga wajah kaderisasi harus didorong agar lebih adaptif, elegan dan terbuka. Namun ada yang mencurigai bahwa persoalan ini menyeruak karena porsi kaderisasi yang diberikan pada kader-kader putri sangat terbatas dan terikat. Pemikiran bentuk kedua ini memandang bahwa ada kendala struktural yang berperan vital sebagai penyebab kejumudan kaderisasi PMII putri.

Dalam menjawab kenyataan tersebut, ketetapan Forum Kongres PMII dari waktu ke waktu selalu ada dan bermunculan dalam bentuk yang berubah-ubah. Terkadang revitalisasi kaderisasi PMII putri harus diperkuat dengan cara di-lembaga-kan baik dalam bentuk pe-lembaga-an, departemenisasi, bidang (semi otonom) bahkan disetarakan statusnya dengan PB PMII. Walaupun hampir semua pendekatan telah dilakukan toh keluhan akan nasib kaderisasi PMII putri selalu menyeruak dari dan diberbagai wilayah.

Di beberapa Kota/ Kabupaten-pun (semoga Kota Malang tidak termasuk) nasib kaderisasi PMII putri-nya boleh dikatakan “hidup tidak mau matipun segan”. Kaderisasi PMII putri selalu diharapkan baik dan bisa berjalan seperti kaderisasi PMII pada umumnya. Perjalanan kaderisasi PMII putri terbilang naik-turun/kembang-kempis, terkadang hidup sekali dengan jumlah kader bertaburan dimana-mana. Namun dilain waktu, praktis tidak ada agenda kaderisasi yang dilakukan.

Realitas ini diperparah lagi ketika masing-masing Pengurus Cabang di setiap Kota/ Kabupaten praktis jarang berkomunikasi dan melakukan konsolidasi. Bahkan ego kewilayahan terkadang mengaburkan kepentingan bersama untuk membangun kaderisasi PMII putri atas kesadaran kolektif. Semuanya membanding-bandingkan seraya saling mengecilkan, yang kecil-imut makin terjepit dan yang cukup mapan lalu sulit untuk berbagi.

Merespon kenyataan ini, dibutuhkan ruang diskusi terbuka untuk mencari format ideal kaderisasi PMII putri. Hal ini dianggap penting mengingat format kaderisasi PMII putri masih bersifat serampangan dan sporadis sehingga dibutuhkan acuan dan kerangka dasar dalam melakukan kaderisasi PMII putri kedepan. Ruang konsolidasi juga dirasa penting digelar demi mengumpulkan masalah kaderisasi yang berserakan dimasing-masing cabang. Kesamaan persepsi dan cara pandang dalam menatap kaderisasi PMII putri dan kader putri dalam arti sesungguhnya sangat penting sehingga akan didapatkan satu kesepahaman yang akan mengikat dan menjadi modal besar kaderisai PMII putri.

Oleh karena itu, kesadaran kolektif harus segera dimunculkan untuk segera merespon kejumudan dan keterpurukan kaderisasi PMII Putri dengan sesegera mungkin merumuskan sistem kaderisasi PMII putri yang nantinya mampu dijadikan ajuan baku dalam melakukan pendidikan formal kaderisasi dalam PMII.

Selasa, 04 Maret 2014

Intelektual-Transformatif sebagai Pilihan Gerakan Mahasiswa

Sebagai bagian dari elite terdidik, yang menjadi minoritas karena tidak sampai 53% dari penduduk Indonesia sempat menikmati bangku perkuliahan, Mahasiwa berada pada posisi yang strategis untuk terlibat menentukan arah masa depan bangsanya. Bekal pengetahuan dibangku kuliah dan perjumpaan dengan banyak gagasan yang diperoleh selama proses akademik menyebabkan mahasiswa mempunyai gagasan-gagasan yang cerdas guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh bangsanya.
Dalam sejarah, sudah banyak kontribusi yang menunjukan upaya mahsiwa untuk memberikan solusi guna menyelesaikan persoalan bangsanya. Upaya ini ditunjukan dengan melakukan gerakan yang terorganisir. Dalam upaya ini sering muncul gerakan dengan beragam mainstream seperti gerakan moral, gerakan massa, maupun gerakan politik. Dan untuk mentukan pilihan masing-masing gerakan akan sangat terpengaruh pada nilai, ide dan juga kondisi sosial-politik yang melingkupi gerakan tersebut.
Berkenaan dengan momentum politik yang sekupnya lebih kecil, yakni momentuk politik mahasiswa dimasing-masing perguruan tinggi (baik swasta atau Negeri), maka tidak melulu seluruh perhatian terkonsentrasi dan terpusat pada satu titik (politik), melainkan mahasiswa harus mampu memposisikan diri untuk kemudian mampu mengambil sebuah jalan lain sebagai warna dan indentitas mahasiswa, yakni selalu memberikan letupan-letupan gagasan ataupun ide-ide produktif-konstruktif untuk menyelesaikan berbagai polemik. maka tulisan ini akan sedikit menguraiakn salah suatu gerakan yang pernah menjadi mainstream gerakan mahasiwa, yaitu gerakan Intelektual, sebagai sebuah gerakan penting dan perlu direvitalisasi agar mampu terlibat dalam upaya mnyelesaikan persoalan bangsa.

Gerakan Intelektual
Ciri utama gerakan intelektual adalah pada keseriusanya untuk memproduksi gagasasan-gagasan yang cerdas dan solutif guna menyelesaikan persoalan yang ada pada masyarakatnya. Selain itu gerakan inteletual juga bercirikan pada upaya menjadikan gagasan-gagasan tersebut sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya.
Dalam memperjuangkan gagasanya, gerakan intelektual melakukan aktivitas-aktivitas membangun jaringan agar gagasan tersebut mendapat dukungan sehingga mampu mempengaruhi perubahan sosial yang ada pada lingkunganya. Gerakan Intektual yang murni harus dapat berbeda dengan aktivisme intelektual yang lain.
Beberapa aktivisme intelektual (Yanuardi, 2012: 1) yang berbeda tersebut antara lain: Pertama, Intelektual menara gading. Aktivitas Intektual ini adalah aktivitas yang hanya berusaha melakaukan aktivitas berpikir dan menuangkan gagasan hanya untuk kepentingan keilmuan semata, tanpa peduli pada lingkunganya. Aktivitas yang sering juga disebut dengan masturbasi intelektual ini hanya melakukan aktivitas intektual untuk mendapatkan kenikmati diri sendiri.
Kedua, Intelektual Tukang, Dalam posisi ini kaum intektual memposiskan dirinya hanya sebagai pekerja intektual. Dalam hal ini para intelektual mengabdikan dirinya pada pemilik-pemilik modal dan penguasa politik, tanpa melakukan upaya peduli terhadap dampak dari gagasan yang diproduksinya. Materialisme yang juga sudah mendominasi kehidupan kampus saat ini, telah berakibat pada menjamurnya Intelktual ini.
Ketiga, Intelektual Resi, Intelektual ini menepatkan dirinya sebagai pengajar masyarakatnya. Intektual ini selalau menyampaikan nilai-nilai baik dan buruk kepada masyrakatnya. Namaun Intelektual ini tidak berusaha terlibat dalam memperkuat pengetahuan masyarakat dan memperjuangkanya dalam proses transformasi sosial.
Keempat, Intelektual Transformatif adalah intelektual yang berusaha melahirakan gagasan-gagasan yang lahir dari proses dialektika sosial dengan lingkunganya. Dalam proses ini, Intelektual Transformatif melakukan aktivitas yang berusaha memperjuangakan dan memperkuat gagasan tersebut, sehingga menjadi sebauah kekauatan yang mampu mempengaruhi proses perubahan sosial.

Gerakan Intelektual Transformatif
Dari empat pola gerakan Intektual diatas, menurut penulis Gerakan Intelektual mahasiwsa perlu menjadi gerakan intektual yang tidak hanya melakukan masturbasi Intelektual, menjadikan dirinya sebagai tukang, atau hanya sekedar menjadi resi. Gerakan intektual mahasiwa harus mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan pendobrak guna mendorong terjadinya tranformasi sosial di lingkungannya. Oleh karena itu, mahsiswa perlu mengmbil posisi sebagai kekuatan Intelktual Transformatif, yaitu gerakan intektual yang mampu melahirkan ide-ide yang lahir dari proses dialektika dengan masyraktnya, sekaligus terus menerus memperjuangkan gagasan tersebut bersama masyarakatnya guna mencapai transformasi sosial yang didealkan.
Adapun aktivitas yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang gerakan intelektual transformatif adalah sebagai berikut:
  1. Mahasiwa harus mampu mendialogkan gagasannya dengan masyarakatnya agar mampu melahirkan gagasan-gagsan yang berbasis pada kepentingan masyrakatnya, bukan hanya hasil pikiran intelektual mahasiswa semata. Karena mahasiswa harus senantiasa melakukan aksi dan refleksi dalam gerakanya
  2. Membangun jaringan dengan sebanyak mungkin kekuatan sosial tanpa terlebih dahualu melakukan apriori, guna mendialogakn dan menyebarkan ide dan gagasanya.sekaligus mencari sekutu untuk memperjuangkan ide-ide dan gagasan tersebut.
  3. Terlibat langsung dalam upaya memperkuat pengetahuan rakyat sekaligus membesakan pengetahuan rakyat dari pengetahuan yang menindas.
Sebagai penutup, bangsa ini pernah bangga memiliki mahasiswa yang mampu berperan aktif dalam memberikan kontribusi akan pembangunan bangsa dan Negara, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum, atau dalam bidang yang lainnya.
Namun seiring dengan berlarinya zaman, maka tidak kita sadari kemunduran dan kejumudan mulai menyusup dalam darah dan meracuni pikiran mahasiswa yang semakin lama kian mendekati ketidakproduktifan dalam menuangkan ide dan gagasan bagi bangsanya.
Berharap tulisan ini mampu menjadi cambuk untuk menghidupkan lagi spirit intelektual yang pernah bersemayan dalam diri mahasiswa. Amin.

Senin, 18 Februari 2013

Mendefinisikan Kembali Pendidikan Karakter


Penulis sadar betul, bahwa tulisan ini sangat tidak cukup relevan untuk dijadikan salah satu literatur dalam mendefinisikan pendidikan karakter. Namun “sejauh mata” melihat buku, tulisan ini akhirnya muncul sebagai pengakuan bahwa pendidikan tiada pernah usang untuk diperdebatkan, salah satunya adalah munculnya konsepsi baru tentang pendidikan karakter.

Kamis, 31 Januari 2013

Terenggutnya Ke-sexy-an PMII

Sembah sujud kami persembahkan kepada 13 orang penggagas dan pendiri PMII, mereka adalah Sahabat Cholid Mawardi, Said Budairy, M. Sobich Ubaid, M. Makmun Syukri BA, Hilman, H. Isma’il Makky, Munsif Nahrawi, Nuril Huda Suaidy HA, Laily Mansur, Abd. Wahab Jailani, Hisbullah Huda, M. Cholid Narbuko, dan Ahmad Husain. Yang dengan semangat perjuangan dan keikhlasan untuk memperjuangkan kaum muztad’afin agar mendapatkan kehidupan yang layak ditengah arus kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dalam payung PMII.
Setelah keberadaan mereka, kita tidak akan pernah melupakan sosok almarhum Mahbub Djunaidi yang tegas, berani, berwawasan global, dan mempunyai komitmen serta loyalitas tinggi terhadap organisasi. Sosok itulah yang melekat pada diri kader-kader PMII pada era 60-an sampai 90-an, dimana kader-kader PMII sangat garang dengan taring yang tajam untuk tetap mengumandangkan kemerdekaan bagi mereka yang tertindas, baik ditindas secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Dengan Jas Biru yang berlambangkan perisai sakti PMII, sosok Mahbub Djunaidi berani meneteskan air mata, darah, dan bahkan nyawa pun jadi taruhannya agar jembatan emas (kemerdekaan) bangsa dan Negara ini benar-benar dirasakan oleh mereka.
Tidak hanya almarhum yang menjadi kiblat pemikiran, gerakan, dan tindakan kader-kader PMII dalam mengentaskan penindasan-penindasan yang kerap kali dilakukan rezim orde lama kepada masyarakat, akan tetapi PMII juga memiliki almarhum Muhammad Zamroni, Inilah tokoh PMII, tokoh mahasiswa, dan tokoh pemuda yang berhasil menggerakkan mahasiswa dan pemuda diseluruh Indonesia berdemonstrasi turun ke jalan menuntut dan berhasil merontokkan rezim orde lama. Dialah figur tokoh angkatan 66. Dialah tokoh demonstran yang berhasil menumbangkan suatu rezim. Dialah tokoh paling populer dan terkenal pada masanya, setelah Soekarno. Tokoh idola yang mampu menjadi “inspirator gerakan” mahasiswa dan pemuda diseluruh Nusantara. Dialah tokoh yang berani berdemonstrasi dan berdebat berhadap-hadapan secara langsung dengan Presiden Soekarno.
Tidak cukup kiranya hanya bernostalgia pemikiran dan gerakan melalui tulisan, karena mereka menginginkan kader PMII yang mampu mengimplementasikan pemikiran dalam sebuah gerakan yang nyata.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya globalisasi, maka seiring itupula tergerusnya pemikiran kritis transformatif dan gerakan kader PMII yang cenderung tidak mengarah pada substansial ide pokok yang dibawa. Hiroh intelektual dan hausnya gerakan sosial-keagamaan sudah lama tidak terjamah oleh kader-kader PMII. Padahal kalau dilogikakan, dengan kuantitas kader yang dimikili PMII sekarang seharusnya hiroh intelektual dan hausnya gerakan sosial-keagamaan harus menjadi prioritas dalam setiap gerak dan aktifitas PMII karena hal tersebut sesuai dengan tujuan PMII.
Entah virus apa yang menghinggapi kader-kader PMII, apakah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini PMII sudah tidak sexy lagi?
Pada era kelahiran sampai 90-an, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan PMII bermuara pada pembentukan kader yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan sensitifitas gerakan sosial-keagamaan yang tinggi, karena dengan itulah nama PMII tetap dikenang dan bahkan akan “ditakuti” oleh meraka yang memandang karena tajamnya taring yang dimiliki PMII. Namun terlihat sangat berbeda dengan hari ini, mayoritas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan PMII akhir-akhir ini hanya bersifat formalitas dan menggugurkan kewajiban program kerja yang sangat jauh dari substansi yang diharapkan.
Ritual keintelektualan sebagai penambah khazanah pengetahuan kader sudah sangat sulit ditemukan pada setiap level kepengurusan organisasi, pembacaan atas kebijakan kampus maupun pemerintah Kota dan Kabupaten pun juga sudah tidak menarik lagi untuk dikonsumsi oleh kader PMII, pendampingan dan penyuluhan kepada masyarakat yang membutuhkan pun juga sudah lama ditinggalkan oleh kader-kader PMII. Melihat dan merasakan hal yang semacam itu, seakan-akan gerak dan kerja-kerja organisasi PMII mulai disorientasi dari akar nilai yang pernah dieluh-eluhkan oleh founding fathers. Yang mana kader-kader PMII mampu menjadi pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan keilmuannya serta berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Imbas dan konsekuensi logis dari hal itu adalah PMII sudah tidak begitu menarik lagi untuk dilirik para calon anggota, PMII juga sudah hampir tak mampu menelurkan figur-figur yang benar-benar matang secara intelektual dan gerakan sehingga mampu mewarnai kelas, kampus, atau bahkan jalanan Kota. Dari itulah, tidak sedikit kader PMII yang sudah tidak lagi bangga menyebut dirinya kader PMII, meraka tidak lagi bangga mengenakan jas biru dengan lambang perisai sakti, meraka akan minder ketika bertemu dengan kader dari organisasi lain. Yang pada penghujungnya dapat menyebabkan kebosanan, kejenuhan, kejumudan dan bahkan mungkin muak dengan PMII. Lebih parahnya lagi meraka akan mengira bahwa PMII tidak lebih dari sosok paguyuban dan bukan sebagai organisasi kaderisasi yang formal. Na’udzubillahi min Dzalik.
Maka anti-thesis untuk mengantisipasi hal diatas terjadi adalah menggembalikan PMII kepada poros yang sudah termaktub dalam AD-ART, Nilai Dasar Pergerakan, Paradigma Kritis Transformatif, dan nilai-nilai Aswaja, serta kesadaran kolektif dari setiap kader PMII untuk segera bangun dari tidur yang lama dan menghentakkan kaki untuk melakukan letupan-letupan progresif-konstruktif. Karena mungkin hanya dengan itulah PMII yang sampai hari ini dibanggakan akan kembali “sexy”.