Sembah sujud kami persembahkan kepada 13 orang
penggagas dan pendiri PMII, mereka adalah Sahabat Cholid Mawardi, Said Budairy,
M. Sobich Ubaid, M. Makmun Syukri BA, Hilman, H. Isma’il Makky, Munsif Nahrawi,
Nuril Huda Suaidy HA, Laily Mansur, Abd. Wahab Jailani, Hisbullah Huda, M. Cholid
Narbuko, dan Ahmad Husain. Yang dengan semangat perjuangan dan keikhlasan untuk
memperjuangkan kaum muztad’afin agar mendapatkan kehidupan yang layak
ditengah arus kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dalam payung PMII.
Setelah keberadaan mereka, kita tidak
akan pernah melupakan sosok almarhum Mahbub Djunaidi yang tegas, berani,
berwawasan global, dan mempunyai komitmen serta loyalitas tinggi terhadap
organisasi. Sosok itulah yang melekat pada diri kader-kader PMII pada era 60-an
sampai 90-an, dimana kader-kader PMII sangat garang dengan taring yang
tajam untuk tetap mengumandangkan kemerdekaan bagi mereka yang tertindas, baik
ditindas secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Dengan Jas Biru yang
berlambangkan perisai sakti PMII, sosok Mahbub Djunaidi berani meneteskan air
mata, darah, dan bahkan nyawa pun jadi taruhannya agar jembatan emas (kemerdekaan)
bangsa dan Negara ini benar-benar dirasakan oleh mereka.
Tidak hanya almarhum yang menjadi kiblat pemikiran,
gerakan, dan tindakan kader-kader PMII dalam mengentaskan penindasan-penindasan
yang kerap kali dilakukan rezim orde lama kepada masyarakat, akan tetapi PMII
juga memiliki almarhum Muhammad Zamroni, Inilah tokoh PMII, tokoh mahasiswa,
dan tokoh pemuda yang berhasil menggerakkan mahasiswa dan pemuda diseluruh
Indonesia berdemonstrasi turun ke jalan menuntut dan berhasil merontokkan rezim
orde lama. Dialah figur tokoh angkatan 66. Dialah tokoh demonstran yang
berhasil menumbangkan suatu rezim. Dialah tokoh paling populer dan terkenal
pada masanya, setelah Soekarno. Tokoh idola yang mampu menjadi “inspirator
gerakan” mahasiswa dan pemuda diseluruh Nusantara. Dialah tokoh yang berani
berdemonstrasi dan berdebat berhadap-hadapan secara langsung dengan Presiden
Soekarno.
Tidak cukup kiranya hanya bernostalgia pemikiran
dan gerakan melalui tulisan, karena mereka menginginkan kader PMII yang mampu
mengimplementasikan pemikiran dalam sebuah gerakan yang nyata.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan
masuknya globalisasi, maka seiring itupula tergerusnya pemikiran kritis
transformatif dan gerakan kader PMII yang cenderung tidak mengarah pada
substansial ide pokok yang dibawa. Hiroh intelektual dan hausnya gerakan
sosial-keagamaan sudah lama tidak terjamah oleh kader-kader PMII. Padahal kalau
dilogikakan, dengan kuantitas kader yang dimikili PMII sekarang seharusnya hiroh intelektual
dan hausnya gerakan sosial-keagamaan harus menjadi prioritas dalam setiap gerak
dan aktifitas PMII karena hal tersebut sesuai dengan tujuan PMII.
Entah virus apa yang menghinggapi
kader-kader PMII, apakah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini PMII sudah
tidak sexy lagi?
Pada era kelahiran sampai 90-an, kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan PMII bermuara pada pembentukan kader yang memiliki kapasitas
keilmuan yang luas dan sensitifitas gerakan sosial-keagamaan yang tinggi, karena
dengan itulah nama PMII tetap dikenang dan bahkan akan “ditakuti” oleh meraka
yang memandang karena tajamnya taring yang dimiliki PMII. Namun terlihat
sangat berbeda dengan hari ini, mayoritas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
PMII akhir-akhir ini hanya bersifat formalitas dan menggugurkan kewajiban program
kerja yang sangat jauh dari substansi yang diharapkan.
Ritual keintelektualan sebagai penambah khazanah pengetahuan
kader sudah sangat sulit ditemukan pada setiap level kepengurusan organisasi,
pembacaan atas kebijakan kampus maupun pemerintah Kota dan Kabupaten pun juga
sudah tidak menarik lagi untuk dikonsumsi oleh kader PMII, pendampingan dan
penyuluhan kepada masyarakat yang membutuhkan pun juga sudah lama ditinggalkan
oleh kader-kader PMII. Melihat dan merasakan hal yang semacam itu, seakan-akan
gerak dan kerja-kerja organisasi PMII mulai disorientasi dari akar nilai yang
pernah dieluh-eluhkan oleh founding fathers. Yang mana kader-kader PMII mampu
menjadi pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan keilmuannya serta
berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Imbas dan konsekuensi logis dari hal itu adalah PMII
sudah tidak begitu menarik lagi untuk dilirik para calon anggota, PMII juga sudah
hampir tak mampu menelurkan figur-figur yang benar-benar matang secara
intelektual dan gerakan sehingga mampu mewarnai kelas, kampus, atau bahkan
jalanan Kota. Dari itulah, tidak sedikit kader PMII yang sudah tidak lagi
bangga menyebut dirinya kader PMII, meraka tidak lagi bangga mengenakan jas
biru dengan lambang perisai sakti, meraka akan minder ketika bertemu dengan
kader dari organisasi lain. Yang pada penghujungnya dapat menyebabkan
kebosanan, kejenuhan, kejumudan dan bahkan mungkin muak dengan PMII.
Lebih parahnya lagi meraka akan mengira bahwa PMII tidak lebih dari sosok paguyuban
dan bukan sebagai organisasi kaderisasi yang formal. Na’udzubillahi min
Dzalik.
Maka anti-thesis untuk mengantisipasi hal
diatas terjadi adalah menggembalikan PMII kepada poros yang sudah termaktub
dalam AD-ART, Nilai Dasar Pergerakan, Paradigma Kritis Transformatif, dan
nilai-nilai Aswaja, serta kesadaran kolektif dari setiap kader PMII untuk
segera bangun dari tidur yang lama dan menghentakkan kaki untuk melakukan
letupan-letupan progresif-konstruktif. Karena mungkin hanya dengan itulah PMII
yang sampai hari ini dibanggakan akan kembali “sexy”.